![]() |
Editorial Media Indonesia |
Dengan psikologi unik pasar di Indonesia setiap menjelang Ramadan dan rangkaian menuju Lebaran memang sulit mengharapkan harga daging dan harga bahan-bahan kebutuhan pokok lain turun. Analisisnya pun klise, orang biasa tidak makan daging, pas puasa makan daging. Harga daging Rp120 ribu-Rp135 ribu per kilogram pada dua hari menjelang puasa bisa mencapai Rp150 ribu per kilogram mendekati Lebaran. Ada yang menganggap gejala itu wajar sebagai konsekuensi hukum pasar, yakni ketika permintaan melonjak dan pasokan tetap, harga melambung.
Akan tetapi, benarkah persoalannya melulu bersumbu dari masalah supply and demand? Apakah ketika pasokan daging digelontor ke pasar, otomatis harga turun? Faktanya tidak. Indikasi ada yang 'bermain' di ruang remang-remang pun kian menemukan kebenaran. Seperti yang terjadi di Pasar Porong Sidoarjo, Jawa Timur, pasokan daging sengaja dikurangi sehingga harga melambung.
Ultimatum Presiden Joko Widodo kepada para menteri untuk menstabilkan harga daging di kisaran Rp80 ribu per kilogram jelas membuat para pembantunya itu memutar otak. Namun, seperti yang sudah-sudah, solusi paling cepat ialah menambah impor daging. Pola yang sama setiap tahunnya pun berulang, tanpa kita tahu hingga kapan negeri ini akan bergantung pada impor. Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan sejak tahun lalu. Di antaranya dengan mengadakan kapal khusus pengangkut sapi yang diharapkan mampu menurunkan biaya transportasi dari sentra-sentra produksi sapi. Namun, upaya itu nihil hasil.
Apa boleh buat, impor memang menjadi satu-satunya cara tercepat. Badan Pusat Statistik mencatat kebutuhan daging sapi nasional pada 2016 ialah 674 ribu ton lebih. Dengan hanya 440 ribu ton yang dipenuhi dari dalam negeri, sisa kebutuhan 233 ribu ton mau tidak mau harus diimpor. Itulah risiko karena negeri ini belum swasembada daging. Meskipun demikian, kondisi klise seperti itu sudah saatnya diakhiri. Apalagi, Pesiden sudah mencanangkan untuk mewujudkan Nawa Cita, termasuk di dalamnya swasembada pangan.
Langkah mula yang harus dilakukan ialah sinkronisasi data kebutuhan konsumsi daging per orang per tahun secara nasional. Hingga kini, data ihwal hal itu masih berbeda antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Sulit berbenah jika data saja simpang siur. Selain itu, kartel daging sapi yang diduga menguasai rantai distribusi dari hulu hingga hilir juga harus dibersihkan.
Juga, pihak-pihak yang mendestruksi pasar dengan cara menciptakan 'permintaan semu' sehingga seolah-olah kebutuhan meningkat dan pasokan tidak pernah mencukupi harus ditindak keras. Teramat lama negeri ini membiarkan tangan-tangan tersembunyi pemburu rente menguasai hajat hidup orang banyak. Kini saatnya mengakhiri.
Ultimatum Presiden Joko Widodo kepada para menteri untuk menstabilkan harga daging di kisaran Rp80 ribu per kilogram jelas membuat para pembantunya itu memutar otak. Namun, seperti yang sudah-sudah, solusi paling cepat ialah menambah impor daging. Pola yang sama setiap tahunnya pun berulang, tanpa kita tahu hingga kapan negeri ini akan bergantung pada impor. Berbagai upaya sebenarnya telah dilakukan sejak tahun lalu. Di antaranya dengan mengadakan kapal khusus pengangkut sapi yang diharapkan mampu menurunkan biaya transportasi dari sentra-sentra produksi sapi. Namun, upaya itu nihil hasil.
Apa boleh buat, impor memang menjadi satu-satunya cara tercepat. Badan Pusat Statistik mencatat kebutuhan daging sapi nasional pada 2016 ialah 674 ribu ton lebih. Dengan hanya 440 ribu ton yang dipenuhi dari dalam negeri, sisa kebutuhan 233 ribu ton mau tidak mau harus diimpor. Itulah risiko karena negeri ini belum swasembada daging. Meskipun demikian, kondisi klise seperti itu sudah saatnya diakhiri. Apalagi, Pesiden sudah mencanangkan untuk mewujudkan Nawa Cita, termasuk di dalamnya swasembada pangan.
Langkah mula yang harus dilakukan ialah sinkronisasi data kebutuhan konsumsi daging per orang per tahun secara nasional. Hingga kini, data ihwal hal itu masih berbeda antara Kementerian Pertanian dan Kementerian Perdagangan. Sulit berbenah jika data saja simpang siur. Selain itu, kartel daging sapi yang diduga menguasai rantai distribusi dari hulu hingga hilir juga harus dibersihkan.
Juga, pihak-pihak yang mendestruksi pasar dengan cara menciptakan 'permintaan semu' sehingga seolah-olah kebutuhan meningkat dan pasokan tidak pernah mencukupi harus ditindak keras. Teramat lama negeri ini membiarkan tangan-tangan tersembunyi pemburu rente menguasai hajat hidup orang banyak. Kini saatnya mengakhiri.
#collect and share
#berbagi itu indah
No comments:
Post a Comment